Rabu, 17 Desember 2014

PENGRAWIT DAN SINDEN

PENGRAWIT

1.      Latar Belakang pengrawit
Pengrawit dari kata rawit, yang berarti rumit, atau yang berhubungan dengan hal-hal halus, lembut. Pengrawit memang berhubungan dengan hal-hal rumit, misalnya harus menghafal ratusan gending yang berbentuk not-not angka di luar kepala dan menyajikannya dengan garap yang benar
Bahkan pengrawit yang mumpuni terhadap garap ratusan bahkan ribuan gending, disebut Empu. Empu karawitan ini biasanya abdi dalem pengrawit keraton yang memang ahli di bidangnya. Dimasa lalu nama-nama seperti Mloyo Widodo adalah empu karawitan yang banyak cantrik-nya, dan menjadi panutan atau menjadi nara sumber garap gending-gending kuna yang sudah jarang di tabuh atau dibunyikan oleh generasi dibawahnya.
Pengrawit juga sering disebut nayaga atau Yogo. Yogo sendiri menurut Ki Mujoko Joko Raharjo (alhm) dalang terkenal dari Klaten, menyebutkan berasal dari kata wiyoga yang berarti semedi atau meditasi. Seorang Nayoga bila sedang menabuh gamelan biasanya dengan konsentrasi penuh untuk memberi ruh terhadap gending yang sedang ia mainkan. Keseriusan dalam menabuh gamelan ibarat orang semadi / meditasi, dimana bila rusak tabuhannya ibaratnya gagal sembahnya terhadap yang Maha Kuasa.

2.      Definisi Pengrawit
Pengrawit adalah sekumpulan orang yang memainkan alat musik gamelan dimana setiap orang memainkan instrumen yang berbeda. Setiap orang memiliki cara menabuh sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan setiap instrumen yang digunakan, bunyi yang dihasilkan setiap pengrawit ketika memainkan alat musik gamelan pun berbeda. Akan tetapi setiap bunyi yang dihasilkan masing-masing pengrawit membentuk sebuah kesatuan bunyi yang harmonis, selaras, dan memiliki nilai seni yang tinggi.
Peran dari pengrawit ialah memainkan alat musik gamelan untuk menggiringi setiap adegan wayang yang dimainkan oleh dalang dan menggambarkan suasana setiap adegan.
Sama halnya dengan pengrawit, sinden pun berperan sebagai penggiring setiap adegan lakon wayang. Hanya saja sinden melakukannya dengan cara menyanyikan tembang jawa yang memiliki berbagai versi, mulai dari mijil sampai maskumambang.
Adapun vokal di dalam seni karawitan dapat berupa solo vokal maupun bentuk gérongan atau koor, sedangkan syairnya dapat berupa wangsalan purwa kanthi maupun Sêkar Agêng, Sêkar Têgahan, dan Macapat. Tembang secara genetik menunjukkan vokal lagu Jawa, yang dahulunya disebut dengan istilah kidung (nyanyian).3 Tembang dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: (1) tembang Gêdhé, (2) tembang Têngahan, dan (3) tembang Macapat. Istilah tembang dalam bahasa yang lebih halus (krama) disebut dengan kata sêkar, maka ketiga tembang tersebut menjadi kesatuan istilah Sêkar Agêng, Sêkar Têngahan dan Sêkar Macapat.
Sesuai dengan sifatnya yang tradisi maka tembang-tembang tersebut memiliki aturan yang sifatnya sangat mengikat misalnya; guru wilangan (jumlah suku kata dalam setiap baris), guru lagu (persajakan). Oleh karena yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bentuk Sêkar Macapat, maka di bawah sangat penting ditampilkan 11 macam Têmbang Macapat berikut pedoman guru gatra, guru wilangan maupun guru lagu.
Gending-gending kreasi baru karya Ki Nartosabdo, 4 garap musikalitas karawitan Jawanya dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) jenis karawitan yang masih menggunakan medium dan idiom lama, (2) jenis karawitan yang menggunakan medium lama tetapi dengan idiom baru, (3) jenis karawitan yang menggunakan medium baru dengan idiom baru pula.
Setelah dilakukan penelitian melalui gending-gending ciptaan Ki Nartasabdo ditemukan berbagai gending yang idenya diambil dari Sêkar Macapat, baik berupa bawa, gérongan, dan sêkaran (lêlagon). Adapun bukti visualnya berupa notasi lagu dan cakêpan (syair) sebagai berikut.
1.    Bawa.
Berbagai bawa yang menggunakan pedoman Macapat yaitu: (1) Bawa sêkar Mijil katampèn lancaran Gandrung Mangu, (2) bawa sêkar Gambuh katampên lancaran Ayo Ngguyu, (3) bawa sêkar Kinanthi katampên lancaran Kagok Banyuwangèn, (4) bawa sêkar Mêgatruh katampên lancaran Andum Slamêt, (5) bawa sêkar Pangkur katampên lancaran Éling-éling Banyumasan, (6) bawa sêkar Asmarandana katampên lancaran Godril Banyumasan, (7) bawa sêkar Sinom, katampên lancaran Aja Rèwèl, (8) bawa sêkar Dhandhanggula katampên ladrang Bribil, dan (9) bawa sêkar Pocung katampên ladrang Pujimaya. Adapun secara visual gending-gending karya Ki Nartasabdo yang bawa-nya diambil dari Macapat sebagai berikut.
1.      Bawa sêkar Mijil katampèn lancaran Gandrung Mangu.
Buka : 6 1 2 3 5 5 2 1 3 2 1 6 G
A.    Balungan Gending.
N P N P N P N
1 . 6 . 1 . 6 . 2 . 3 . 5 . 6 G
3 . 2 . 3 . 2 . 5 . 6 . 5 . 3 G
6 . 1 . 2 . 3 . 5 . 3 . 2 . 1 G
2 . 1 . 2 . 1 . 3 . 5 . 6 . 1 G
2        . 1 . 2 . 3 . 2 . 1 . 2 . 6 G–A/suwuk

2.      Gérongan
Berbagai gérongan yang mengambil sumber Sêkar Macapat diungkapkan 6 (enam) macam, yaitu: (1) Gérongan Pocung dalam Ladrang Pujimaya, (2) Gérongan, Mijil dalam Kêtawang Mijil Panglilih, (3) Gérongan Asmarandana dalam Ladrang Asmarandana, (4) Gérongan dalam Ladrang Pangkur, (5) Gérongan dalam Ladrang Pocung, (6) Gérongan Durma Ladrang Kagok. Adapun notasi lagu dan cakêpan atau syairnya sebagai berikut.
1.      Gérongan Pocung dalam Ladrang Pujimaya.13
│ . . . . │ 6 6 12 6 │ . . 6 6 │ 3 6 1 2 │
Lah ba- tang-ên cang-krim - an-ku
│ . . . . │ 3 3 32 1 │ . 2 6 5 │ . 3 3 25 5 │
I - ki la - drang a - pa gên – dhing
│ . . . . │ 1 6 5 3 │ . . 1 2 │ 3 1 21 6 │
Srê-pêg - an a - pa kê - ta- wang
│ . . . . │ 3 2 1 6 │ 1 2 6 5 │ .3 61 65 3 │
A - yak a - pa kê - bo bê – rik
│ . . 2 3 │ . 5 2 3 │ 5 6 2 1 │ 6 2 .1 6 │
Gang- sar - an mêng - ko gèk sam – pak
│ . . . . │ 3 5 6 5 │ 6 . 3 2 │ . 1 35 2 │

3.      Lêlagon
Lêlagon yang menggunakan sumber Macapat ada yaitu: (1). Lêlagon Pangkur dalam Kêtawang Pangkur Pêgatsih, (2) Lêlagon dalam Lancaran Gambuh Pangatag, (3) Lêlagon Lancaran Gambuh, (4) Lelagon Asmarandana dalam Lancaran Begadang. Adapun visualisasinya sebagai berikut.
1.      Lêlagon Pangkur dalam Kêtawang Pangkur Pêgatsih.19
│ . . . . │ . . . . │ . . . . │ . 4 . 5 │
Du – pi
│ . . 1 6 │ . . 1 5 │ . . 3 2 │ 5 3 2 1 │
Wus mêng- kêr han-di- ka
│ . . 1 6 │ 1 2 3 1 │ . . 3 2 │ . . 3 5 │
a - pan ya – yah
│ . . . 6 │ . . 4 5 │ . . 6 5 │ . 6 51 1 │
ka - pê- gat - an sih ja – ti
│ . . 1 6 │ 1 2 3 1 │ . . 1 2 │ . 1 21 6 │
Têmah - ing dri
│ . . . 5 │ . . 1 6 │ . 3 5 3 │ . . 2 2 │
ya tu - mla-wung
│ . . 1 2 │ . 3 . . │ . . . 2 │ . 1 . 2 │
u - pa – mi
│ . . 3 5 │ . . 1 6 │ . 2 . 1 │ . 2 1 6 │
num - pak pal – wa
│ . . 1 1 │ . . 1 1 │ . . 6 1 │ . 2 . 3 │
tan – pa wê - lah nèng ma - dya – ning
│ . . 5 3 │ . . 5 6 │ . . . 1 │ . .2 16 5 │
sa - mo - dra gung
│ . . 5 4 │ 5 6 1 5 │ . 6 . 4 │ . . 5 6 │
é - wuh ing pun
│ . . . 5 │ . . 6 4 │ . 2 . 4 │ . 2 . 1 │
Di si - nê – dya
│ . . 1 6 │ 1 2 3 1 │ . . 1 1 │ . . 1 1 │
tu - mam - buh a-
│ . . 3 2 │ . 1 . 6 │ . . . 1 │ 2 1 6 5 │
dhêp ing dhi – ri

3. Latar Belakang Sinden
Tradisi sinden memang tidak serta merta hilang dimakan arus globalisasi. Namun keberadaan dan animo masyarakat tidak sebesar pada masa keemasannya. Sinden atau pesinden merupakan sebutan bagi kaum wanita yang bernyanyi mengiringi orkresta gamelan. Pada umumnya sinden tampil sendiri sebagai penyanyi. Namun terkadang juga terdapat beberapa sinden dalam satu pagelaran. Terutama saat pagelaran besar dilaksanakan. Mempunyai ciri khas suara masing-masing setiap sinden.
Pada zaman globalisasi ini Pesinden banyak diminati oleh turis manca. Daya tarik ini disebabkan karena keunikan dan mempunyai ciri khas tersendiri pada swaranya sehingga banya turis manca yang berguru untuk salah satu kebudayaan Indonesia ini. Keanekaragaman dalam budaya Indonesia sangat menjadi daya tarik untuk turis macanegara. Kita sebagai warga negara yang memiliki kebudayaan ini seharusnya dapat menjaganya dan setidaknya kita mempelajari semua kekayaan Indonesia ini.
4. Pengertian Sinden
Sinden pada dasarnya merupakan sebuah kosakata jawa yakni ‘Pasindhian’ yang berarti kaya akan lagu atau melantunkan lagu. Sesuai dengan artinya, sinden memang bertugas sebagai pelantun lagu yang mengiringi pagelaran wayang ataupun pentas klenengan. Keberadaan sinden sangat penting dan sentral karena mengiringi dan menghibur pada saat pagelaran berlangsung.
Pada sebuah pagelaran, sinden biasanya duduk di belakang dalang dan tukang gender serta tukang kendang. Jika hanya seorang diri, biasanya sinden merupakan istri dalang tersebut atau salah satu pengrawit dalam pagelaran tersebut. Seiring dengan perkembangannya, sinden pun dialihkan tempatnya menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan dalang.
Pada masa emasnya, sinden merupakan profesi yang banyak digemari para wanita. Sinden dianggap bintang panggung karena memiliki pesona dan daya tarik sendiri. Dahulu, sinden dapat menjadi penentu sukses atau tidaknya sebuah pagelaran. Sebuah pagelaran yang diiringi sinden cantik dan bersuara merdu akan menarik banyaknya penonton yang hadir.
Di era modern saat ini, keberadaan sinden memang semakin bergeser seiring dengan meredupnya pagelaran wayang kulit. Meski demikian sinden masih menempati posisi tersendiri terutama bagi mereka pecinta seni pagelaran wayang. Sinden pun tidak hanya sebagai ‘penghias’ karena posisinya pun kerap disamakan dengan penyanyi. Tidak sedikit juga sinden yang ‘go internasional’ dengan mengadakan pagelaran di luar negeri.
Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan dan kesenian Indonesia, sinden memang menjadi daya tarik tersendiri. Keberadaannya yang sangat sentral dalam sebuah pagelaran menjadi kunci eksistensi sinden yang masih ada hingga saat ini. Para sinden juga menjadi pewaris kebudayaan dengan segala atribut yang mengirinya. Tidak hanya sekedar melantunkan lagu, sinden juga harus mengerti dan memahami tentang akar budaya serta kesenian yang ia lantunkan. Tidak heran pofesi sinden tidaklah mudah dan penuh tanggung jawab terhadap kelestarian dan kelangsungan budaya Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar