PENGRAWIT
1.
Latar
Belakang pengrawit
Pengrawit
dari kata rawit, yang berarti rumit, atau yang berhubungan dengan hal-hal
halus, lembut. Pengrawit memang berhubungan dengan hal-hal rumit, misalnya
harus menghafal ratusan gending yang berbentuk not-not angka di luar kepala dan
menyajikannya dengan garap yang benar
Bahkan pengrawit yang mumpuni terhadap garap ratusan
bahkan ribuan gending, disebut Empu. Empu karawitan ini biasanya abdi dalem
pengrawit keraton yang memang ahli di bidangnya. Dimasa lalu nama-nama seperti
Mloyo Widodo adalah empu karawitan yang banyak cantrik-nya, dan menjadi panutan
atau menjadi nara sumber garap gending-gending kuna yang sudah jarang di tabuh
atau dibunyikan oleh generasi dibawahnya.
Pengrawit juga sering disebut nayaga atau Yogo. Yogo
sendiri menurut Ki Mujoko Joko Raharjo (alhm) dalang terkenal dari Klaten,
menyebutkan berasal dari kata wiyoga yang berarti semedi atau meditasi. Seorang
Nayoga bila sedang menabuh gamelan biasanya dengan konsentrasi penuh untuk
memberi ruh terhadap gending yang sedang ia mainkan. Keseriusan dalam menabuh
gamelan ibarat orang semadi / meditasi, dimana bila rusak tabuhannya ibaratnya
gagal sembahnya terhadap yang Maha Kuasa.
2.
Definisi Pengrawit
Pengrawit
adalah sekumpulan orang yang memainkan alat musik gamelan dimana setiap orang
memainkan instrumen yang berbeda. Setiap orang memiliki cara menabuh
sendiri-sendiri yang disesuaikan dengan setiap instrumen yang digunakan, bunyi
yang dihasilkan setiap pengrawit ketika memainkan alat musik gamelan pun
berbeda. Akan tetapi setiap bunyi yang dihasilkan masing-masing pengrawit
membentuk sebuah kesatuan bunyi yang harmonis, selaras, dan memiliki nilai seni
yang tinggi.
Peran dari pengrawit ialah memainkan alat musik
gamelan untuk menggiringi setiap adegan wayang yang dimainkan oleh dalang dan
menggambarkan suasana setiap adegan.
Sama halnya dengan pengrawit, sinden pun berperan
sebagai penggiring setiap adegan lakon wayang. Hanya saja sinden melakukannya dengan
cara menyanyikan tembang jawa yang memiliki berbagai versi, mulai dari mijil
sampai maskumambang.
Adapun vokal di dalam seni karawitan dapat berupa
solo vokal maupun bentuk gérongan atau koor, sedangkan syairnya dapat berupa
wangsalan purwa kanthi maupun Sêkar Agêng, Sêkar Têgahan, dan Macapat. Tembang
secara genetik menunjukkan vokal lagu Jawa, yang dahulunya disebut dengan
istilah kidung (nyanyian).3 Tembang dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: (1)
tembang Gêdhé, (2) tembang Têngahan, dan (3) tembang Macapat. Istilah tembang dalam
bahasa yang lebih halus (krama) disebut dengan kata sêkar, maka ketiga tembang tersebut
menjadi kesatuan istilah Sêkar Agêng, Sêkar Têngahan dan Sêkar Macapat.
Sesuai dengan sifatnya yang tradisi maka
tembang-tembang tersebut memiliki aturan yang sifatnya sangat mengikat
misalnya; guru wilangan (jumlah suku kata dalam setiap baris), guru lagu
(persajakan). Oleh karena yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bentuk
Sêkar Macapat, maka di bawah sangat penting ditampilkan 11 macam Têmbang
Macapat berikut pedoman guru gatra, guru wilangan maupun guru lagu.
Gending-gending kreasi baru karya Ki Nartosabdo, 4
garap musikalitas karawitan Jawanya dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1)
jenis karawitan yang masih menggunakan medium dan idiom lama, (2) jenis
karawitan yang menggunakan medium lama tetapi dengan idiom baru, (3) jenis
karawitan yang menggunakan medium baru dengan idiom baru pula.
Setelah dilakukan penelitian melalui gending-gending
ciptaan Ki Nartasabdo ditemukan berbagai gending yang idenya diambil dari Sêkar
Macapat, baik berupa bawa, gérongan, dan sêkaran (lêlagon). Adapun bukti
visualnya berupa notasi lagu dan cakêpan (syair) sebagai berikut.
1.
Bawa.
Berbagai bawa yang
menggunakan pedoman Macapat yaitu: (1) Bawa sêkar Mijil katampèn lancaran
Gandrung Mangu, (2) bawa sêkar Gambuh katampên lancaran Ayo Ngguyu, (3) bawa
sêkar Kinanthi katampên lancaran Kagok Banyuwangèn, (4) bawa sêkar Mêgatruh
katampên lancaran Andum Slamêt, (5) bawa sêkar Pangkur katampên lancaran
Éling-éling Banyumasan, (6) bawa sêkar Asmarandana katampên lancaran Godril
Banyumasan, (7) bawa sêkar Sinom, katampên lancaran Aja Rèwèl, (8) bawa sêkar
Dhandhanggula katampên ladrang Bribil, dan (9) bawa sêkar Pocung katampên
ladrang Pujimaya. Adapun secara visual gending-gending karya Ki Nartasabdo yang
bawa-nya diambil dari Macapat sebagai berikut.
1. Bawa
sêkar Mijil katampèn lancaran Gandrung Mangu.
Buka : 6 1 2 3 5 5 2 1
3 2 1 6 G
A. Balungan
Gending.
N P N P N P N
1 . 6 . 1 . 6 . 2 . 3 .
5 . 6 G
3 . 2 . 3 . 2 . 5 . 6 .
5 . 3 G
6 . 1 . 2 . 3 . 5 . 3 .
2 . 1 G
2 . 1 . 2 . 1 . 3 . 5 .
6 . 1 G
2
. 1 . 2 . 3 . 2 . 1 . 2 . 6 G–A/suwuk
2. Gérongan
Berbagai gérongan yang
mengambil sumber Sêkar Macapat diungkapkan 6 (enam) macam, yaitu: (1) Gérongan
Pocung dalam Ladrang Pujimaya, (2) Gérongan, Mijil dalam Kêtawang Mijil
Panglilih, (3) Gérongan Asmarandana dalam Ladrang Asmarandana, (4) Gérongan
dalam Ladrang Pangkur, (5) Gérongan dalam Ladrang Pocung, (6) Gérongan Durma
Ladrang Kagok. Adapun notasi lagu dan cakêpan atau syairnya sebagai berikut.
1. Gérongan
Pocung dalam Ladrang Pujimaya.13
│ . . . . │ 6 6 12 6 │
. . 6 6 │ 3 6 1 2 │
Lah ba- tang-ên
cang-krim - an-ku
│ . . . . │ 3 3 32 1 │
. 2 6 5 │ . 3 3 25 5 │
I - ki la - drang a -
pa gên – dhing
│ . . . . │ 1 6 5 3 │ .
. 1 2 │ 3 1 21 6 │
Srê-pêg - an a - pa kê
- ta- wang
│ . . . . │ 3 2 1 6 │ 1
2 6 5 │ .3 61 65 3 │
A - yak a - pa kê - bo
bê – rik
│ . . 2 3 │ . 5 2 3 │ 5
6 2 1 │ 6 2 .1 6 │
Gang- sar - an mêng -
ko gèk sam – pak
│ . . . . │ 3 5 6 5 │ 6
. 3 2 │ . 1 35 2 │
3. Lêlagon
Lêlagon yang
menggunakan sumber Macapat ada yaitu: (1). Lêlagon Pangkur dalam Kêtawang
Pangkur Pêgatsih, (2) Lêlagon dalam Lancaran Gambuh Pangatag, (3) Lêlagon
Lancaran Gambuh, (4) Lelagon Asmarandana dalam Lancaran Begadang. Adapun
visualisasinya sebagai berikut.
1. Lêlagon
Pangkur dalam Kêtawang Pangkur Pêgatsih.19
│ . . . . │ . . . . │ .
. . . │ . 4 . 5 │
Du – pi
│ . . 1 6 │ . . 1 5 │ .
. 3 2 │ 5 3 2 1 │
Wus mêng- kêr han-di-
ka
│ . . 1 6 │ 1 2 3 1 │ .
. 3 2 │ . . 3 5 │
a - pan ya – yah
│ . . . 6 │ . . 4 5 │ .
. 6 5 │ . 6 51 1 │
ka - pê- gat - an sih
ja – ti
│ . . 1 6 │ 1 2 3 1 │ .
. 1 2 │ . 1 21 6 │
Têmah - ing dri
│ . . . 5 │ . . 1 6 │ .
3 5 3 │ . . 2 2 │
ya tu - mla-wung
│ . . 1 2 │ . 3 . . │ .
. . 2 │ . 1 . 2 │
u - pa – mi
│ . . 3 5 │ . . 1 6 │ .
2 . 1 │ . 2 1 6 │
num - pak pal – wa
│ . . 1 1 │ . . 1 1 │ .
. 6 1 │ . 2 . 3 │
tan – pa wê - lah nèng
ma - dya – ning
│ . . 5 3 │ . . 5 6 │ .
. . 1 │ . .2 16 5 │
sa - mo - dra gung
│ . . 5 4 │ 5 6 1 5 │ .
6 . 4 │ . . 5 6 │
é - wuh ing pun
│ . . . 5 │ . . 6 4 │ .
2 . 4 │ . 2 . 1 │
Di si - nê – dya
│ . . 1 6 │ 1 2 3 1 │ .
. 1 1 │ . . 1 1 │
tu - mam - buh a-
│ . . 3 2 │ . 1 . 6 │ .
. . 1 │ 2 1 6 5 │
dhêp ing dhi – ri
3.
Latar Belakang Sinden
Tradisi sinden memang
tidak serta merta hilang dimakan arus globalisasi. Namun keberadaan dan animo
masyarakat tidak sebesar pada masa keemasannya. Sinden atau pesinden merupakan
sebutan bagi kaum wanita yang bernyanyi mengiringi orkresta gamelan. Pada umumnya
sinden tampil sendiri sebagai penyanyi. Namun terkadang juga terdapat beberapa
sinden dalam satu pagelaran. Terutama saat pagelaran besar dilaksanakan.
Mempunyai ciri khas suara masing-masing setiap sinden.
Pada
zaman globalisasi ini Pesinden banyak diminati oleh turis manca. Daya tarik ini
disebabkan karena keunikan dan mempunyai ciri khas tersendiri pada swaranya
sehingga banya turis manca yang berguru untuk salah satu kebudayaan Indonesia
ini. Keanekaragaman dalam budaya Indonesia sangat menjadi daya tarik untuk
turis macanegara. Kita sebagai warga negara yang memiliki kebudayaan ini
seharusnya dapat menjaganya dan setidaknya kita mempelajari semua kekayaan
Indonesia ini.
4. Pengertian Sinden
Sinden
pada dasarnya merupakan sebuah kosakata jawa yakni ‘Pasindhian’ yang berarti
kaya akan lagu atau melantunkan lagu. Sesuai dengan artinya, sinden memang
bertugas sebagai pelantun lagu yang mengiringi pagelaran wayang ataupun pentas
klenengan. Keberadaan sinden
sangat penting dan sentral karena mengiringi dan menghibur pada saat pagelaran
berlangsung.
Pada sebuah pagelaran, sinden biasanya
duduk di belakang dalang dan tukang gender serta tukang kendang. Jika hanya
seorang diri, biasanya sinden merupakan istri dalang tersebut atau salah satu
pengrawit dalam pagelaran tersebut. Seiring dengan perkembangannya, sinden pun
dialihkan tempatnya menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan dalang.
Pada masa
emasnya, sinden merupakan profesi yang banyak digemari para wanita. Sinden
dianggap bintang panggung karena memiliki pesona dan daya tarik sendiri.
Dahulu, sinden dapat menjadi penentu sukses atau tidaknya sebuah pagelaran.
Sebuah pagelaran yang diiringi sinden cantik dan bersuara merdu akan menarik
banyaknya penonton yang hadir.
Di era modern
saat ini, keberadaan sinden memang semakin bergeser seiring dengan meredupnya
pagelaran wayang kulit. Meski demikian sinden masih menempati posisi tersendiri
terutama bagi mereka pecinta seni pagelaran wayang. Sinden pun tidak hanya
sebagai ‘penghias’ karena posisinya pun kerap disamakan dengan penyanyi. Tidak
sedikit juga sinden yang ‘go internasional’ dengan mengadakan pagelaran di luar
negeri.
Sebagai salah satu bagian dari
kebudayaan dan kesenian Indonesia, sinden memang menjadi daya tarik tersendiri.
Keberadaannya yang sangat sentral dalam sebuah pagelaran menjadi kunci
eksistensi sinden yang masih ada hingga saat ini. Para sinden juga menjadi
pewaris kebudayaan dengan segala atribut yang mengirinya. Tidak hanya sekedar
melantunkan lagu, sinden juga harus mengerti dan memahami tentang akar budaya
serta kesenian yang ia lantunkan. Tidak heran pofesi sinden tidaklah mudah dan
penuh tanggung jawab terhadap kelestarian dan kelangsungan budaya Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar